Sabtu, 09 Februari 2008

DUA SISI MATA UANG ITU : PAHLAWAN DAN TIRAN

*) Oleh : Tjahjono widarmanto


Beberapa waktu lalu seorang mantan pemimpin besar, tepatnya penguasa besar,dan mantan kepala negara telah mangkat. Menghikmati kemangkatan mantan pemimpin besar itu negara pun mengumumkan masa berkabung dan menghimbau rakyat untuk memasang bendera setengah tiang.
Pengibaran bendera apakah setengah tiang atau setiang penuh mengingatkan saya pada pahlawan. Bendera selalu dikibarkan untuk menghormati seorang pahlawan. Namun himbauan memasang bendera setengah tiang untuk menghikmati kemangkatan pemimpin besar itu memunculkan sebuah pertanyaan besar “Apakah setiap mantan pemimpin, atau tegasnya setiap kepala negara pasti seorang pahlawan?” Ataukah memasang bendera setengah tiang untuk menghikmati kemangkatan pemimpin besar atau seorang mantan kepala negara hanya sebuah aturan formal dari dunia birokrasi.


Setiap orang tentu saja bisa memiliki tafsir sendiri-sendiri. Tetangga saya yang dulu jurkam sebuah partai yang dekat dengan yang mangkat tadi bisa dan boleh saja menafsir bahwa pemimpin yang mangkat tersebut adalah seorang pahlawan dan layak diberi penghormatan dengan pengibaran bendera setengah tiang. Namun di sisi lain, beberapa tahun lalu teman-teman saya di Malang mengibarkan bendera setengah tiang untuk menghikmati kematian Munir, seorang aktivis yang mereka anggap pahlawan, yang dulu merupakan “lawan” dari mantan pemimpin yang baru saja mangkat itu. Dalam konteks serupa itu lalu siapakah yang bisa dan lebih berhak disebut pahlawan. Munir ataukah mantan pemimpin yang baru saja mangkat tadi?
Kegelisahan saya semakin memuncak saat melihat tayangan televisi beberapa politikus mengusulkan gelar pahlawan bagi pemimpin yang baru saja mangkat itu. Tentu saja kegelisahan saya bukan berarti setuju dan tidak setuju atas gelar kepahlawanan yang diusulkan untuk disandang di almarhum mantan pemimpin besar itu. Saya hanya gelisah dan bertanya-tanya apakah gelar pahlawan itu semata menunggu “klaim” atau keputusan dari pemerintah? Jadi pemerintahlah yang paling berhak menentukan seseorang bergelar pahlawan atau tidak?
Mem”pahlawan’kan seseorang berarti menumbuhkan sebuah mitos tentang orang itu. Celakanya setiap mitos selalu mengkedepankan sisi-sisi terang pahlawan sekaligus selalu menenggelamkan sisi-sisi gelap kehidupannya. Dengan kata lain menghapuskan setiap dosa dari sejarah hidupnya.
Tiba-tiba, saya teringat kepahlawanan Gajah Mada dengan sumpahnya yang dahsyat yaitu ”sumpah Palapa”. Sumpah yang membawanya mempersatukan nusantara di bawah panji Majapahit. Mitos itu menguburkan realita bahwa ia adalah seorang penjajah, seorang imperalis dan penakluk yang menghalalkan segala cara. Bahkan cara yang paling licik seperti tercatat dalam Perang Bubat.
Saya tiba-tiba jadi takut, jika pemimpin besar yang baru saja mangkat itu mendapat gelar pahlawan, jangan-jangan akan terkubur pula cerita tiga juta orang yang dibantai karena dituduh komunis. Jangan-jangan terabaikan pula upaya membongkar sindikat kroni dan nepotismenya dan pelanggaranya tehadap HAM di Aceh, Lampung, Priok dan lainnya.
Ahh, barangkali yang diperlukan adalah kesadaran untuk mendudukan seorang pahlawan dalam porsi yang seimbang. Jasa-jasanya memang pilar-pilar sejarah namun di antara pilar-pilar itu harus ditampakkan pula puing-puing yang dirobohkannya. Harus dibangun kesadaran bahwa setiap pahlawan akan melahirkan korban. Pahlawan dan tiran memang dua sisi mata uang. Batas antara pahlawan dan tiran memang begitu tipios.****

*) Penulis adalah penyair, essais, dan guru yang tinggal di Ngawi

2 komentar:

Q-Q mengatakan...

kok gak ada wadah untuk nampung komentar tentang blog-nya?

akan lebih sempurna bila utility untuk itu...

thank's...

lingkar sastra tanah kapur mengatakan...

YA DEH PASTI NANTI DISEMPURNAKAN.KAPAN YAA NGOBROL ASYIK YG TIDAK SERIUS