Jumat, 11 Januari 2008

Sajak-sajak Tjahjono Widarmanto

Republika Minggu, 04 Nopember 2007

SAJAK MATI
sajak itu sekadar potongan
notasi sebuah simponi
mungkin, serpih lagu-lagu kenangan
yang dulu pernah kau dengar
sekadar notasi segera lenyap
bersama hilangnya mimpi-mimpimu
nada yang berubah diam
seperti abadinya sunyi
: membuatmu meringkuk
di sudut rumah kerangmu!
itulah masa lalu
tempat kita pernah bertukar janji
pada debu dan detak penanda waktu
Dan, janji itu ditagihnya kini.
Ngawi, 2007
MANTERA ITU TERDENGAR LAGI
: buat tardji
mantera itu terdengar lagi
saat bintang-bintang gemetar
berjatuhan di kejauhan
malam berpeluk muram yang kekal
kubayangkan, seorang penyair di kejauhan,
di batas sebuah musim
dengan rambut berkibar-kibar menggumamkan
manteranya ke lorong-lorong langit
hurufnya bertebaran, berjatuhan
di dasar danau dan telaga-telaga
siapa mendengarnya?
seorang penyair bersajak jauh sekali
dengan mantera menyulap lelahnya yang kelabu
menjelma ribuan kupu-kupu
beterbangan dengan sayapnya
kemilau menuju galaksi-galaksi.
penyair berambut telah putih
tubuhnya memanjang jadi sulur-sulurBR> melampui hari-hari yang selalu berjagaBR> pada kematian-kematianBR> yang mendompleng cuaca.
2007


TERKALAH WAKTU
ini: ruang yang mengurung kita
dalam sudutnya yang sumuk
membuat siapa saja harus terjaga untuk
menggelepar-gelepar
dari satu rajah tangan ke rajah yang lain
yang segera menjelma menjadi rumah keong
sarang segala riwayat, silsilah,
dan teka-teki mengubur ingatan
dengarkan detaknya!
segenap orang berlarian sambil
melambungkan bola-bola tennis
dari batas cakrawala
ke arah musim yang beterbangan.
yang berdetak itu bukan hantu
dengan gemerincing lonceng di kakinya,
bukan pula ruh
namun persis cahaya
berkelebat bersama angin
meniup-niup ujung rambut
yang sekejap menjadi beruban.
Hayoo, terkalah kelebat itu
yang punya gemerincing di kakinya.
punya rumah keong
dengan sudut yang sumuk
sebelum ia begegas lalu,
dan kita tertinggal di sini!
2007

selanjutnya»»

Puisi-puisi Cinta Chairil yang Menggetarkan

Tjahjono Widarmanto
Memperbincangkan kesusastraan Indonesia, mustahil tanpa menyebut sosok Chairil Anwar. Namanya menjadi bagian tak terpisahkan bagi terbentuknya identitas kesusastraan Indonesia, khususnya identitas sastra puisi Indonesia. Sampai sekarang namanya menjadi mitos dan paling banyak diperbincangkan dalam khazanah sastra Indonesia. Ialah yang dianggap meletakkan dasar perpuisian modern Indonesia, yang mengembangkan estetika Indonesia modern dengan bentuk yang ekspresif, liar, berani, dan tak beraturan. Membicarakan puisi-puisi Chairil Anwar, orang akan mempertautkan dengan vitalitas, ego, dan spirit individualis dalam diri Chairil yang memang tersirat dalam banyak sajaknya (bahkan cara hidupnya).


Hal itu memang telah menjadi pilihan konsep estetika Chairil, seperti yang diteriakkannya dalam pidatonya:…Vitalitas adalah sesuatu yang tak bisa dielakkan dalam mencapai suatu keindahan. Dalam seni; vitalitas itu Chaotischvoorstadium, keindahan kosmich eindstadium…(Pidato Chairil 7 Juli 1943). Karena kredonya itu tak heran puisi-puisinya meneriakkan reaksioner, heroik, sangat individualis, bahkan revolusioner. Hal ini tergambar jelas dalam puisi-puisi ”Persetujuan dengan Bung Karno”, ”1943”, ”Semangat”, ”Siap Sedia”, dan masih banyak lagi. Bahkan, ia tak segan-segan mengumumkan dirinya sendiri dengan lantang sebagai ”binatang jalang” dalam sejaknya yang paling populer, ”Aku”. Sungguhpun demikian, seliar-liarnya, Chairil tetaplah seorang seniman yang tak luput dari perasaan romantisme, bahkan sentimentil saat ia terlibat dengan urusan wanita dan cinta. Kehidupan Chairil memang banyak diwarnai dengan nama-nama wanita; ada yang memang dipacarinya, ada yang ditaksirnya tapi tak terbalas sehingga ia patah hati, ada pula yang sangat mencintai dan dicintainya tapi tak pernah sampai pada perkawinan.Wanita-wanita itu dan ”pengalamannya” dengan wanita-wanita itu menjadi sumber inspirasinya bahkan nama-namanya secara tersurat hadir dalam puisi-puisinya, seperti nama-nama Karinah Moordjono, Sumirat, Dien Tamaela, Sri Aryati, Gadis Rasid, Ina Mia, Ida, Sri, dan Nyonya.Saat bersentuhan dengan persoalan cinta dan wanita ini, Chairil Anwar bisa menjelma menjadi sosok yang amat halus dan romantis. Perasaan cinta digambarkannya dengan aksentuasi lembut dan bersahaja, seperti pada puisi yang dipersembahkannya pada Gadis Rasid:
Buat Gadis Rasid
AntaraDaun-daun hijauPadang lapang dan terangAnak-anak kecil tidak bersalah, baru bisa lari-larianBurung-burung merduHujan segar dan menyembur………………..
Kita terapit, cintaku—-mengecil diri, kadang bisa mengisar setapak—-Mari kita lepas, kita lepas jiwa mencari jadi merpatiTerbangMengenali gurun, sonder ketemu, sonder mendarat—-the only possible non-stop flighttidak mendapat
Dalam puisi di atas dengan amat lembut Chairil bertutur perasaan hatinya yang tercepit cinta. Hampir tidak ada kata-kata yang bombas dan ekspresif, seolah-olah hanya gumaman cinta yang mendesak di dada. Pada puisi ”Puncak”, romantisme cinta Chairil memuncak dan diucapkannya dengan terus-terang:
………..kita berbaring bulat telanjangsehabis apa terucap di kelam tadi, kita habis kata sekarang………..Maka cintaku sayang, kucoba menjabat tanganmuMendekap wajahmu yang asing, meraih bibirmu di baalik rupaKau terlompat dari ranjang, lari ke tingkap yangMasih mengandung kabut, dan kau lihat di sana……..
Saat Chairil mengalami patah hati, ia pun berubah menjadi sosok sendu yang sentimentil. Seperti yang tergambar dalam puisinya ”Senja di Pelabuhan Kecil” berikut ini:
Senja di Pelabuhan Kecil(buat Sri Aryati)
Ini kali tiada yang mencari cintaDi antara gudang, rumah tua, pada ceritaTiang serta temali. Kapal,perahu tiada berlautGerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elangMenyinggung muram, desir hari lari berenangMenemu bujuk pangkal akanan. Tidak bergerakDan kini tanah dan air tidur hilang ombakTiada lagi. Aku sendiri. BerjalanMenyusur semenanjung, masih pengap harapSekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalanDari pantai keempat, sendu penghabisan bisa berdekap
Kemuraman Chairil akibat patah hati amat terasa dalam puisi ini. Diksi-diksi: gudang, rumah tua, kapal perahu tiada berlaut. Gerimis mempercepat kelam, muram, air tidur hilang ombak, aku sendiri, pengap harap, selamat jalan, sendu penghabisan. Merupakan komposisi yang sedemikian rupa disusun untuk menggambarkan suasana hati yang muram dan patah. Segalanya jauh dari kata bombastis yang meledak-ledak.Namun, tak seluruhnya Chairil menggambarkan pesona wanita dan cinta dengan romantisme yang teduh dan halus. Kadang-kadang melompat kenakalan dan keliarannya dalam melukiskan keberadaan wanita, bahkan dengan cara yang mengejutkan dan kurang ajar, seperti terdapat pada penggalan puisinya yang berjudul ”Kepada Kawan” di bawah ini:
…….JadiIsi gelas sepenuhnya lantas kosongkan,Tembus jelajah dunia ini dan balikkanPeluk kecup perempuan, tinggalkan kalau merayuPilih kuda paling liar, pacu lajuJangan tambatkan pada siang dan malam
Kenakalan dan keliaran semacam itu juga muncul saat Chairil menggambarkan perasaan dan hasrat birahi yang menggebu-gebu, yang diungkapkannya secara terus terang:
Lagu Biasa
Di teras rumah makan kami kini berhadapanBaru berkenalan. Cuma berpandanganSungguhpun samudera jiwa sudah selam berselamMasih saja berpandangan ………..Ia mengerling. Ia ketawaDan rumput kering terus menyalaIa berkata. Suaranya nyaring tinggiDarahku terhenti berlariKetika orkes memulai Ave MariaKuseret ia ke sana…….
Keterusterangan yang gamblang dalam menggambarkan hasrat seksual semacam di atas, juga muncul dalam puisi-puisinya yang lain, seperti pada ”Tuti Artic”:…../Kau pintar benar bercium, ada goresan tinggal terasa/…ketika kita bersepeda kuantar kau pulang…/panas darahmu, sungguh lekas kau jadi dara/.Di antara puisi-puisi Chairil yang bersinggungan dengan wanita dan cinta seperti di atas, ada dua buah puisi cinta Chairil yang sangat menggetarkan hati dan paling terindah yang dipersembahkannya untuk seorang gadis yang bernama Sumirat. Konon gadis ini adalah gadis yang paling mencintai dan dicintai. Namun sayang keluarga Sumirat, yang tinggal di Paron, sebuah desa kecil di Ngawi, tak menghendaki Chairil jadi menantunya.Salah satu puisi itu berjudul ”Mirat Muda, Chairil Muda” yang ditulis Chairil pada tahun kematiannya yang disebut-sebut sebagai penggambaran seksualitas dalam kedekatannya dengan maut, yang berarti juga seksualitas sebagai dorongan daya hidup yang terus menyala sampai maut merenggut. Inilah puisi itu selengkapnya:Mirat Muda, Chairil Muda
Dialah, Miratlah, ketika mereka rebah,Menatap lama ke dalam pandangnyaCoba memisah matanya menantangYang satu tajam dan jujur yang sebelahKetawa diadukannya giginya padaMulut Chairil; dan bertanya: Adakah, adakahKau selalu mesra dan aku bagimu indah?Mirat raba urut Chairil, raba dadaDan tahukah di kini, bisa katakanDan tunjukkan dengan pasti di manaMenghidup jiwa, menghembus nyawaLiang jiwa-jiwa saling berganti. DiaRapatkanDirinya pada Chairil makin sehati;Hilang secepuh segan, hilang secepuh cemasHiduplah Mirat dan Chairil dengan deras,Menuntut tinggi tidak setapak berjarakDengan mati.
Dalam puisi di atas tampak sekali cinta yang dalam pada diri Chairil pada Sumirat, gadis yang dikaguminya itu. Dan bagi Chairil, Sumirat menjadi semangat pendorong cita-citanya untuk terus berkarya; seperti tertulis pada suratnya untuk HB Jassin pada bulan Maret 1944: ”Orang selalu saja salah sangka, tapi mereka akan menyesal di hari kemudian, karena aku akan sanggup membuktikan bahwa karya-karyaku ini bermutu dan berharga tinggi. Jangan kita putus asa Mirat, aku akan terus berjuang untuk memberi bukti”.Cinta Chairil dan Mirat memang abadi dalam sajak, tapi mereka tak pernah berhasil menikah. Chairil juga berhasil membuktikan kepada Mirat bahwa karya-karya bermutu dan berharga tinggi. Mirat atau Sumirat yang berpisah karena perang kemerdekaan, akhirnya mendengar semuanya tentang bagaimana ia beristri, punya anak, dan mati muda, juga bagaimana namanya menjadi besar, menjadi mitos. Dan, Sumirat, gadis yang pernah dicintai dan mencintai Chairil habis-habisan itu bertutur (Intisari; Juni 1971):…Kini Cril tiada lagi. Cril, penyair yang sepanjang hidupku kukagumi dan kudambakan, sebagai seorang penyair besar dari zamannya. Dia benar, Cril membuktikan dirinya orang besar, seperti selalu dikatakannya kepadaku. Dia meninggalkan seorang istri dan anak perempuan. Ingin aku bisa menjumpai mereka, bagaimanapun aku pernah mengenal baik dengan almarhum”.Puisinya yang lain, yang juga dipersembahkan buat Sumirat sangat menampakkan romantisme, harapan, dan sanjungan yang luar biasa dan menggetarkan dari gelombang jiwa seorang Chairil. Puisi ini boleh dikatakan paling romantis, paling indah dan mewakili estetika yang lain. Estetika yang romantis, indah, lembut, dan menggetarkan ini menyajikan warna yang lain di samping warna puisi Chairil yang meledak-ledak; liar, dan ekspresif; yang melengkapi kedahsyatan kepenyairan Chairil Anwar. Saya kutipkan puisi itu untuk mengakhiri tulisan ini:
Sajak PutihBuat tunanganku Mirat
Bersandar pada tari warna pelangiKau depanku bertudung sutra senjaDi hitam matamu kembang mawar dan melatiHarum rambutmu mengalun bergelut sendaSepi menyanyi, malam dalam mendoa tibaMeriak muka air kolam jiwaDan dalam dadaku memerdu laguMenarik menari seluruh akuHidup dari hidupku, pintu terbukaSelama matamu bagimu menengadahSelama kau darah mengalir dari lukaAntara kita mati datang tidak membelah……Buat Miratku, Ratuku! Kubentuk dunia sendiriDan kuberi jiwa segala yang dikira orang mati di alam ini!Kecuplah aku terus, kecuplahDan semburkanlah tenaga dan hidup dalam tubuhku….***
Penulis adalah penyair yang tinggal di Ngawi.

selanjutnya»»