Minggu, 16 Maret 2008

NASIONALISME;ANATARA KUMBAKARNA DAN WIBISANA


Kamis, 23 Agustus 2007
Nasionalisme tidak lagi relevan untuk dibicarakan di era globalisasi, demikian anggapan umum saat ini. Bahkan ada pandangan ekstrem bahwa national state akan bubar menjadi etnic state, karena pemerintahan national state dianggap terlampau boros dan statis. Anggapan itu semakin kuat ketika dalam kehidupan berbangsa kita muncul fenomena krisis kemanusiaan selama lebih dari 32 tahun. Watak bangsa kita menjadi kasar, suka merusak, dan anarkis.

Selama 32 tahun lebih, bangsa kita yang sangat mencintai kebersamaan, merindukan persatuan dan kesatuan yang memiliki idealisme cita-cita nasional, tiba-tiba berubah menjadi bangsa yang individualistik dan materialistik. Perubahan ini menjadikan isu-isu nasionalisme menjadi tidak lagi penting dan terlupakan dalam kehidupan kita.



Sebelum mengikrarkan diri menjadi bangsa, bangsa kita yang sangat pluralis sadar bahwa kemerdekaan hanya bisa diraih dengan persatuan dan kesatuan. Kesadaran itu tumbuh dari hati nurani tanpa paksaan. Kesadaran itulah yang membentuk semangat kebangsaan atau nasionalisme. Semangat kebangsaan itu diwujudkan dalam dua dimensi, yaitu dimensi rasional dan dimensi emosional.

Dimensi rasional memunculkan watak bangsa Indonesia yang secara logis menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kesatuan. Sedangkan dimensi emosional memberikan watak bangsa Indonesia yang mencintai Tanah Air, negara-bangsa, dan mencintai kemerdekaan. Namun, sayang sekali, seiring dengan perjalanan zaman, dua dimensi tersebut menjadi luntur dalam kehidupan berbangsa kita.

Sistem politik kita tiba-tiba mengubah individu-individu menjadi haus kekuasaan, serakah, haus kekayaan, mementingkan diri sendiri, dan menghalalkan segala cara untuk meraih keinginan. Pelan-pelan dua dimensi nasionalisme yang mementingkan kebersamaan dan kepentingan kebangsaan digeser menjadi budaya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Reformasi merupakan sebuah gerakan sosial yang berusaha menata kehidupan berbangsa kita untuk kembali kepada kepentingan bangsa meraih masa depan yang lebih baik. Reformasi -meminjam istilah Sindhunata-merupakan kepercayaan akan masa depan. Namun, apa yang terjadi dalam proses reformasi? Goenawan Mohammad di awal-awal era reformasi pernah mengingatkan bahwa pada suatu saat nanti, kalau kita tidak hati-hati menjaga reformasi, reformasi akan berubah menjadi menakutkan.

Peringatan itu telah menjadi kenyataan saat ini. Reformasi tiba-tiba berubah menjadi kampanye besar-besaran, sosialisasi ekstrem yang mengampanyekan kelompok-kelompoknya sendiri, kepentingan kelompok, keinginan partai atau kehendak individu. Setiap pemimpin, di lembaga eksekutif maupun legislatif tampil membawa keinginan sendiri-sendiri, membawa "proyek" ideologinya sendiri-sendiri atas nama etnis, agama, atau pun identitas politik tertentu. Yang muncul adalah upaya untuk saling mendominasi. Upaya-upaya mendominasi ini melahirkan benih perpecahan bangsa.

Tampaklah nasionalisme kita yang retak dan terbelah-belah. Atribut-atribut nasionalisme seperti bendera kebangsaan, Pancasila dan UUD Dasar 1945 semakin jarang disebut. Atribut itu digantikan isu-isu dan paham-paham lain yang bertolak dari ras, etnis maupun agama. Muncul pula gerakan-gerakan yang mengatasnamakan etnis, ras, dan agama seperti paguyuban masyarakat tertentu, front pembela agama tertentu dan upaya-upaya menawarkan bentuk ideologi baru yang menggeser asas kebangsaan.

Semua gerakan itu justru merupakan titik balik nasionalisme kita. Di tahun 1928 rasa nasionalisme lebih kuat daripada etnis. Organisasi-organisasi kedaerahan seperti Jong Java, Jong Celebes, Jong Sumatera, Syarikat Islam, misalnya, menanggalkan primordialisme menuju nasionalisme. Sekarang, nasionalisme bergeser ke arah primordialisme, bahkan etnonasionalisme.

Melihat kondisi nasionalisme kita yang retak dan karut-marut ini, saatnya kita melihat kembali karakteristik nasionalisme kita. Nasionalisme kita tidak dibangun atas chauvinistic atau uber ulles, seperti nasionalisme bangsa Jerman (Nazi Jerman). Nasionalisme kita berdiri pada penghormatan terhadap manusia dan nilai-nilai kemanusiaan yang menjunjung tinggi kebenaran dan keadilan universal.

Khazanah kebudayaan kita memberikan contoh yang sempurna atas pencitraan nasionalisme kita. Dalam kisah pewayangan Ramayana, ada dua citra nasionalisme yang dimunculkan dalam figur Kumbakarna dan Wibisana. Kumbakarna dan Wibisana adalah profil nasionalis yang patriotik yang secara emosional sama-sama mencintai Tanah Airnya. Yang membedakannya adalah perasaan dan keberpihakannya pada kebenaran dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan.

Kumbakarna secara membabi buta adalah patriot dan nasionalis yang membela negaranya, bagaimana pun wujud negaranya. Prinsipnya adalah wrong or right is my country. Citra patriot dan nasionalis yang lain muncul dalam diri Wibisana. Ia sangat mencintai negaranya, namun dia juga merasa memiliki kewajiban untuk "mengingatkan negaranya" apabila melakukan penindasan terhadap nilai-nilai kemanusiaan. Nasionalismenya berpedoman pada right is right, wrong is wrong.

Dari kisah ini bisa dinilai bahwa kedua-duanya adalah seorang pahlawan. Namun, dalam diri Wibisana terdapat nilai plus, selain pahlawan dan seorang nasionalis, dirinya juga seorang pecinta dan pejunjung kebenaran dan keadilan yang sangat menghormati nilai-nilai kemanusiaan di atas ruang hubungan keluarga, Tanah Air, dan bangsa.

Figur dan citra Wibisana inilah sebetulnya cermin nasionalisme Indonesia dalam budaya. Dengan mengingat cerita ini, semoga kita bisa membangkitkan kembali rasa nasionalisme Indonesia.***

Penulis adalah pemerhati budaya dan
sastrawan, tinggal di Ngawi

selanjutnya»»

EMPAT PEREMPUAN KITA


EMPAT CITRA PEREMPUAN KITA
DALAM TAFSIR SASTRA
(Potret Emansipasi dalam Sastra)
*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

Perempuan kita yang pertama, adalah perempuan dari dusun di pelosok Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Gunung Kidul, wilayah yang bertahun-tahun mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Lahir di desa miskin, dia---perempuan kita bernama : Pariyem itu ------- sungguh merasa sangat beruntung dapat ngenger sebagai pembantu rumah tangga seorang ndoro priyayi.
Keberuntungannya dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya ternyata menaruh minat padanya, pada dirinya, perempuan yang nyaris tak pernah mengenyam pendidikan. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau atau galau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Sekalipun dia tak pernah mempersoalkan bagaimana status anak dan perkawinannya dengan tuan mudanya itu.


Yang lebih menakjubkan, dia kembali ke rumah ndoronya, kali ini dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pada posisinya semula tanpa sedikit pun merasa terbebani atau merasa ternoda. Di benak Pariyem, hidup menjadi gundik tuan mudanya bukan aib, bahkan merupakan rahmat tak ternilai harganya. Mengandung bibit seorang priyayi, baginya akan mengangkat derajatnya dan derajat keluarganya, sekalipun dia tetaplah hanya seorang pembantu yang terus bergulat dengan kerja keras. Bagi seorang Pariyem, tentu saja istilah emansipasi, perjuangan gender, kesetaraan gender, dan kemitraan gender; hanyalah sekedar omong kosong yang tak pernah bisa dipahaminya.
Bagi Pariyem, dunia priyayi begitu mempesona, sehingga saat ia bersentuhan dengan dunia yang baginya sangat kegemerlapan, ia merasa mendapatkan karunia yang tiada taranya. Dia tak meminta diangkat menjadi bagian dari komunitas kepriyayian yang begitu anggun dan halus yang tak terjamah dunia kasar, dalam pengertian kerja keras dan hiruk pikuk dengan persoalan di luar kepriyayian. Pariyem sudah merasa sangat puas dengan sekedar numpang di sisi komunitas priyayi itu dan ia tak merasa perlu mengutuki nasibnya.
Namun kesumarahan Pariyem di atas tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Nyai Ontosoroh, begitu nama perempuan itu. Memiliki nasib yang nyaris serupa dengan Pariyem, sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik, bahkan harus dilakoninya pada saat usianya masih sangat belia.
Nasib yang mengantar hidupnya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda, tak menjadikannya pasrah dan sumarah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir

yang besar. Tak hanya itu, Nyai Ontosoroh, perempuan dusun yang yang tak pernah bersekolah ini, juga memberontak terhadap sejarahnya sendiri, dan tak pernah jera melawan realitas kolonial yang selalu mengungkungnya.
Nyai Ontosoroh begitu dendam pada nasib yang menyeretnya dalam dunia gundik yang tak berdaya. Dendam pada suratan nasibnya bertemu dengan alam politik melahirkan sikap perlawanan dan keinginan kebebasan yang meluap-luap. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok baru, dari sekedar sosok perempuan dusun menjelma menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segenap citra busuk seorang nyai.
Ontosoroh berhasil meretas struktur yang membelenggunya. Perempuan dusun ini bahkan berhasil melampaui dirinya, mengangkat citra keperempuanannya walaupun mungkin ia tak pernah mengenal istilah emansipasi, perlawanan gender, atau sejenisnya.
Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Marieneti Dianwidhi, namanya. Seringkali tidak memakai BH dalam berpakaian namun memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.
Walau sangat sadar akan kecantikan dan kemolekan yang diwujudkan secara demonstratif dalam berbusana; tidak pernah mengenakan BH! Marieneti masih sangat menjunjung tinggi moral keperawanan yang menjadi ciri khas moralitas perempuan Timur. Pemikirannya yang cerdas , berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.
Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Cok, nama perempuan ini, merupakan perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.
Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksualitas yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk ‘menguasai’ perempuan. Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan tidak didudukan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.
Berbeda dengan Marieneti yang menganggungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya; kalau Marieneti bertekad mempertahankan keperawanannya, Cok justru menjebol sendiri keperawanannya.
Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.
Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini. Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme bahkan ideologi yang saling tumpang tindih bahkan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya,”Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia? Bagaimanakah sosokmu, wahai para ibu?’” ******
*) Penulis adalah penyair, essais, dan pemerhati budaya yang tinggal di Ngawi

selanjutnya»»