Sabtu, 09 Februari 2008

BERAKHIRNYA RIWAYAT SEBUAH KREDO

*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

........
Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi
Bagi saya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
(Sutardji Calzoem Bachri)

/*/
Tak semua penyair memandang kata sebagai media menyampaikan makna. Sautardji Calzoum Bachri memperlakukan kata berbeda dengan penyair yang lain. Melalui kredo yang dicetuskan pada 30 Maret 1973 di Bandung, Sutardji memandang bahwa kata tak hanya berhenti sebagai penyampai makna, namun kata adalah pengertian itu sendiri. Oleh karena itu kata harus dibebaskan dari penjajahan pengertian, dari beban idea. Kata-kata harus bebas menentukan dirinya. Harus dibebaskan dari tradisi lapuk yang membelenggunya yaitu kamus dan penjajahan-penjajahan lain seperti moral kata yang dibebankan masyarakat pada kata tertentu dengan dianggap kotor (obscene), serta penjajahan gramatika.


Dengan dibebaskannya kata, maka pintu kreativitas penyair akan terbuka lebar, akan menimbulkan dorongan kreatif yang tak terduga. Penyair mempunyai tugas menjaga kebebasan kata untuk mendapatkan aksentuasi yang maksimal. Menulis puisi berarti mengembalikan kata pada asal mulanya. Dan kata pertama adalah mantera. Maka bagi Sutardji, menulis puisi adalah mengembalikan kata pada mantera.
Pada bagian akhir dari kredonya, Sutardji nyata-nyata ingin mengembalikan puisi ke tanah kelahirannya di tanah Riau. Sebagai penyair yang dilahirkan di tanah Melayu – Riau, Sutardji amat akrab dengan tradisi mantera yaitu salah bentuk sastra Melayu klasik. Mantera adalah salah satu bentuk puisi lama yang paling tua. Merupakan salah satu jenis tradisi lisan yang maksud penyampaiannya lebih penting dari maknanya. Kata dalam mantra adalah bunyi.
Mantera tidak mementingkan bait, larik, dan aspek tipografis yang lain, namun menonjolkan bunyi. Tidak mementingkan isi atau makna, namun menonjolkan irama. Irama dibentuk dari pengulangan-pengulangan kata atau bunyi yang ritmis, makin kuat iramanya makin besar tenaga gaib yang ditimbulkannya.

Dengan mengembalikan puisi pada mantera, berarti Sutardji menggali kembali tradisi, menggali kembali bentuk lama dan menampilkannya dengan roh yang baru,.Atau dengan kata lain, mencipta bentuk baru dengan cara menggali dan menafsir bentuk lama.
Merujuk pada mantera, maka puisi-puisi Sutardji mengoptimalkan pada anasir bunyi. Pada puisi O memperlihatkan betapa kuatnya anasir bunyi yang dibangun oleh Sutardji:/dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau/resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian/raguku ragukau raguguru ragutahu ragu kalian/mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai/siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siaurisau siakalian siasiasia/waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas/duhaiku duhaikau duhairindu duhangilau duhaikalian duhaisangsai/oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O...(hal 20)
Puisi di atas jelas-jelas merujuk pada mantera yang bersandar pada bunyi. Repetisi, aliterasi, asonansi, paralelisme bunyi dan rima, bahkan onaomatope yang ditimbulkan dari perulangan rima dari vokal u, kata duka, resah, sia, o menjadikan puisi di atas seperti serangkaian bunyi dan apabila dilisankan menimbulkan suasana tertentu.
Makna tidak penting dalam puisi O di atas, sehingga dengan enaknya penyairnya menggabungkan dua kata atau kelompok kata yang dalam penulisan yang lazim harus ditulis terpisah. Efek yang muncul pada pengabungan kata tersebut adalah munculnya perulangan bunyi yang kuat dan ritmis yang teratur. Efek lain dari penggabungan kata tersebut adalah munculnya anamatope yang aneh seperti dukangiau,siabalau, waswaswaswaswaswaswas,duhaingilu, duhaisangsai, obolong, orisau yang apabila dibaca (apalagi dibaca oleh penyairnya) bisa menimbulkan suasana mistis tertentu.
Dalam puisi-puisinya yang lain, dalam O, Amuk, dan Kapak mencerminkan dengan tegas ciri-ciri intrinsik puisi Sutardji berupa sistem penulisan kata, penggunaan kalimat, baris, atau bait yang inkonvensional, situasi kegagauan, kemacetan kata, paralelisme bunyi dalam frekuensi yang tinggi, rima yang rapat, kecenderungan pemakaian akar kata (kata dasar), dan penggunaan anamatope yang menimbulkan ritmis yang cepat. Ciri-ciri intrinsik tersebut merupakan bentuk estetis sebagai bentuk manifestasi kredo yang membiarkan kata bebas, mabuk, dan menelanjangi dirinya bahkan uintuk bisa menolak dan berontak terhadap pengertian yang dibebankan kepadanya. Puisi Orang Yang Tuhan menunjukkan betapa kata-kata berhamburan begitu saja tanpa harus mengusung makna bahkan tanpa harus berkaitan dengan kata lain yang sebelumnya atau yang menyusulnya. Dari judulnya saja, puisi di atas sulit dibayangkan maknanya /orang yang tuhan/, baris-baris lain yang menampilkan sederetan kata seperti /sungsang dalam sampainya/yang bilang wau! Gapaiku dedak!/ muncul begitu saja tanpa harus dibebani bagaimana pautan kata satu dengan yang lain.
Yang tak boleh diabaikan dalam puisi-puisi Sutardji, adalah penggunaan tipografi.Hampir disemua puisinya, bisa dijumpai bentuk-bentuk tipografi yang unik dan disusun dengan cermat. Dalam puisinya "Ah", "Tragedi Winka dan Sihka", "Q", "Dapatkau?", "Pot", "Daun", "Hyang", "Tak" yang sepenuhnya menyandarkan diri pada tipografi (tata letak kata). Tipografi-tipografi yang ditampakkan hampir sepenuhnya mengisyaratkan kegemparan, kegalauan, kerisauan, keliaran, dan kegelisahan. Boleh dikatakan melalui bentuk tipografilah suasana dan pesan disimbolkan. Peran kata untuk membangun pengertian digantikan perannya oleh bentuk bangun struktur puisi atau tipografi.
Puisi "Tragedi Winka dan Sihka" menampakkan tipografi zig-zag untuk menggambarkan perjalanan kehidupan manusia yang penuh lika-liku, bergelombang, dan kadang tidak terduga. Sedangkan tipografi yang muncul pada puisi "Q" tampak menunjukkan kesan kegelisahan dan pencarian Tuhan yang panjang yang menimbulkan gambaran mistis yang dipadu dengan pilihan kata yang meminjam kata-kata yang terdapat dalam sebuah ayat dalam surat Al Baqaroh yang termaktub pada kitab suci Al Quran, yaitu alif lamm mim.
Untuk memahami teks puisi di atas (dengan mengabaikan performance Sutardji dalam melisankannya), pembaca hanya bisa bertumpu pada dua hal, yang pertama, pada bentuk struktur (tipografi) yang dihadirkan oleh puisi tersebut, dan yang kedua pada kata alif lam mim. Dengan merujuk dua hal tersebut tampak puisi tersebut menggambarkan kegelisahan Sutardji dalam mencari Tuhannya.
Tipografi dalam puisi-puisi Sutardji, tampaknya digunakan untuk membangun dan mendukung suasana mistis seperti terdapat pada mantera, sehingga tak mengherankan kalau di dalamnya tercium aroma yang anarkis dan chaotic. Puisi "Hyang" semakin menujukkan suasana mistis yang dekat pada pengucapan mantera, menggambarkan keresahan batin penyairnya. Kata-kata yang digunakan pendek-pendek, nerocos begitu saja, sangat mirip dengan bunyi-bunyi yang hadir dalam mantera:

yang
mana
ke
atau
dari
mana
meski
pun
lalu se
bab
antara
Kau
Dan
aku

Hampir keseluruhan O, Amuk, Kapak kata-kata bermunculan, muncrat, meledak, dan berhamburan tanpa pretensi menimbulkan makna. Bahkan yang muncul tak lagi kata tapi serangkaian bunyi yang mistis dan aneh seperti izukalizu, papalik, arukabazuku, kodega, zuzukalibu, tutukaliba, lagotakoco, zegese, zukuzangga zukuzang (Amuk), ya pong ya ping, tak ya pong tak yaping (Shang Hai), tiktaktiktaktiktaktiktak,no no no no no no no no no no, zzzzzzzzzzz,(Mesin Kawin). Kasta-kata atau bunyi tersebut muncrat begitu saja, apabila kemudian membentuk sebuah pola gagasan, konsep, ide, atau segala sesuatu yang bermakna akan dihancurkan oleh bunyi atau kata lain yang muncul secara tak terduga menghancurkan sistem makna yang hampir terbentuk. Begitu berulang terus menerus sampai puisi itu selesai hanya menyisakan sebuah kegelisaha, ketresahan, atau kehadiran suasana yang mistis. Ibaratnya hanya sebuah gelombang bunyi atau kata-kata yang berpotensi melantunkan melodi dan imaji mistis yang tanpa henti. Sehingga hal yang mustahil mencari makna puisi Sutardji melalui pintu kata-kata karena kata-kata diberlakukan seperti rangkaian bunyi.
Mantera yang menjadi roh puisi-puisi Sutardji pada hakekatnya merupakan sebuah pemberontakan bahasa. Pemberontakan bahasa melalui spirit mantera tersebut menjadikan bahasa berdiri di luar sistem dan konvesional bahasa yang berlaku.
Pemberontakan bahasa yang dilakukan Sutardji semacam ini mengingatkan pada konsep dekonstruksi Derrida yang melakukan pembongkaran terhadap tendensi logosentris dan hirarkhis oposisional dalam semiotika struktural. Konsep ini membangkitkan kembali atatisme silam tentang Dunia – Sebagai – Teks, yang pada akhirnya bermuara pada pemakaian bahasa sebagai sebuah petualangan anarkhis melalui berbagai ungkapan dan permainan bahasa yang menampilkan bahasa sebagai agen subversif terhadap semua makna yang sebelumnya dianggap mapan dalam situasi kontrol sosial yang mapan. Pemberontakan yang sama pun pernah dilakukan oleh Julia Kristeva dengan memunculkan tampilnya bentuk-bentuk pelanggaran, subversi, dan kreativitas anti sosial dalam bahasa. Melalui konsep signifiance, Kristeva membuka ruang penjelajahan estetika baru yang menerabas batas-batas konvensi moral, tabu, dan kesepakatan sosial.
Karena memberontak maka ---seperti juga bisa dilihat pada teks-teks postmodern yang inkonvensional-----puisi-puisi Sutardji diwarnai tanda-tanda anarkis, obsesif, tiba-tiba, intim, tak terduga, menyihir indera, dan situasi menghilangnya makna.
/***/
. Dalam Pengantar Kapak yang ditulis di Jakarta 17 Mei 1979, tersirat pengakuan Sutardji bahwa puisi-puisinya didorong oleh tiga tema besar yaitu pencarian ketuhanan, penghayatan akan maut, dan kegelisahan terhadap persoalan kemanusiaan. Dalam Kapak, karena menjadikan maut sebagai sebuah tema sentral, maka imaji-imaji tentang kubur dan kematian mendominasi dan mewarnai kumpulan tersebut: Dari hari ke hari/ Bunuh diri pelan pelan/Dari tahun ke tahun/ Bertimbun luka di badan/Maut menabungKu/ Segobang segobang/(Hemat). Dalam puisi "Kubur", seperti juga dalam puisi "Hemat", bahwa kematian berada di mana-mana. Seperti kapal yang akan membawa manusia entah ke pelabuhan mana. Mereka yang berlayar menuju pelabuhan abadi itu diantar deengan lambaian tangan sanak saudaranya. Kegelisahan akan eksistensi tuhan dan kegandrungan akan maut menjadi tradisi dan ciri sebuah karya sastra yang memiliki potensi sufistik. Puisi-puisi Sutardi sebenarnya menunjukkan sebuah karya sastra yang bermuatan sufistik. Setiap sastra sufistik pasti bermuatan spiritual yang di dalamnya terdapat pengagungan terdapat unsur yang tak terlihat, yang gaib, ruh, atau spirit semesta. Sastra sufistik selalu melihat dunia dari segi spiritualitas, di dalamnya terpancar kerinduan pada tuhan, kegelisahan rohani, merupakan sebuah ekspresi religiusitas, dan kegandrungan akan kematian.
Kecenderungan puisi-puisi Sutardji yang mengarah pada sastra sufistik sekaligus pada mantera bukan sesuatu yang mengherankan. Kedua-keduanya bermuara pada mistikisme, kedua-duanya bermain di wilayah mistik. Subjek Tuhan (Allah) pada puisi-puisi Sutardji tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, karena merupakan 'perjumpaan' yang mistis, oleh karena itu ia memilih pengungkapan mantera untuk memindahkan pengalaman mistis tersebut dalam ekspresi bahasa. Pengalaman mistis dalam pencarian ketuhanan tidak bisa secara tepat diceritakan atau diterjemahkan kepada orang lain yang tidak pernah mengalami pengalaman mistis tersebut.
Pengalaman mistis bersifat personal yang melampui kemampuan medium bahasa verbal . Penyair yang mengekspresikan pengalamannya yang mistis yang sangat personal tersebut terkendala oleh bahasa yang besifat generalisasi dan umum. Meminjam dikotomi yang dibuat oleh Bertrand Russell yang mengatakan bahwa pengalaman puitik penyair hidup di "dunia partikular" sedangkan bahasa cenderung bergerak di "dunia universal". Lalu bagaimana mengungkapkan "sesuatu' yang bermuatan mistis tersebut? /bagaimana penyair bisa sampai tuhan/kalau kata tak sampai?/ (Amuk) . Di sisi lain penyair merasa memiliki kewajiban harus mengungkapkan pengalaman mistisnya tersebut, sementara yang dia punya hanya tanya; /siapa dapat menterjemahkan perih?/siapa yang tahu arus? (Berdarah).
Untuk menyikapi problem batas bahasa dalam mengungkapkan mistis tersebut, jawaban Sutardji tepat sekali: pada mulanya adalah kata. Dan kata pertama adalah mantera. Maka menulis puisi bagi asaya adalah mengembalikan kata kepada mantera.
Upaya kembali pada mantera berarti menjelmakan bahasa jadi pengalaman itu sendiri. Puisi tak lagi sekedar medium verbal yang hanya menjalankan fungsi deskriptif dan reprensentatif sebuah realitas tertentu, namun menjadi sebuah aksi. Puisi menjadi semacam daya pukau atau sihir. Melalui mantera, puisi Sutardji leluasa menjebol batas bahasa untuk mengungkapkan pengalaman personalnya yang mistis. Puisi Sutardji karena merupakan mantera maka mengandalkan kekuatan sugesti seperti yang terdapat dalam sebuah dzikir atau wirid. Tuhan sebagai objek utama puisi-puisi Sutardji, seperti juga ungkapan sufistik pada umumnya, memiliki kedekatan dengan penyair, Tuhan dianggap sebagai kawan yang akrab atau justru sebagai pacar atau kekasih sehingga selalu tampak sebuah proses komunikasi intens antara "aku" dan "kau" seperti bisa dilihat pada sajak "Tapi" :aku bawakan bunga padamu/ tapi kau bilang masih/aku bawakan resahku padamu/tapi kau bilang hanya/aku bawakan darahku padamu/tapi kau bilang Cuma/aku bawakan mimpiku padamu/tapi kau bilang meski/aku bawakan dukaku padamu/tapi kau bilang tapi/aku bawakan mayatku padamu/ tapi kau bilang hampir/aku bawakan arwahku padamu/tapi kau bilang kalau/tanpa apa aku datang padamu/wah!
Membaca puisi panjang "Amuk", bisa dilihat adanya situasi trance, semacam ekstasi, atau isyq atau syutha'at setelah penyair menyeru Tuhannya (memanggilMu) pada situasi menjelang puncak pencarian bahkan pertemuan maka muncullah lenyapnya segala horizon kesadaran akan segala makna (izukalizu mapakazaba itasatali tutulita....zegezegeze zukuzangga zegezegeze aaah...!)
Sebelum sampai pada situasi isyq, pengakuan sufistik sejak awal jelas terbaca pada awal puisi panjang "Amuk" tersebut: ... /aku telah nemukan jejak/aku telah mencapai jalan/tapi belum sampai tuhan/berapa banyak abad lewat/berapa banyak arloji pergi/berapa banyak isyarat dapat/berapa banyak jejak menapak/agar sampai padaMU?

/****/
Sejak hadirnya "Kapak" bisa diamati terjadilah pergeseran estetika yang dilakukan oleh Sutardji. Puisi-puisi Sutardji tak lagi hadir sebagai mantera atau dzikir atau wirid yang sugestif dan mistis namun telah bergeser sekedar 'menceritakan" sesuatu. Pada puisi-puisi sebelumnya, kepedihan pencarian tuhan begitu mistis, namun pada kumpulan Kapak tak lagi sekental, sesakit, dan sedahsyat pada "O" atau "Amuk". Pencarian tuhan diterjemahkan lebih eksplisit sebagai kisah serombongan pemabuk yang susah payak memetik bulan di puncak gunung: /di lereng gunung/para peminum/mendaki gunung mabuk/kadang mereka terpeleset5/jatuh/dan mendaki lagi/memetik bulan/di puncak..../.
Ketika puisi-puisi baru sutardji bermunculan pasca "O, Amuk, Kapak", semakin jelaslah bergeseran estetika itu. Tardji tak lagi bermantera tapi ia bersaksi bahkan berpetuah. Dalam puisinya "Idul Fitri" bisa dibaca kesaksiannya: /O, Lihat Tuhan, kini si bekas pemabuk ini/ngebut/di jalan lurus/jangan kau depakkan lagi aku ke trotoir/tempat usia lalaiku menenggak arak di warung dunia/kini biarkan aku menenggak arak cahayaMu/di ujung sisa usia/.
Tak hanya bersaksi, dalam puisi "Cermin" ia bahkan nyinyir berpetuah:/Engkau ingin berkarib-karib dengan Allah Azza wa jalla/Dan engkau berdzikir/tapi aku lihat/Zakar juga yang kau pikirkan/ Engkau pikul zakarmu ke mana-mana/Engkau jadi keledai/Zakarmu tuannya/.
Mantera tak lagi lantang diteriakkan oleh Sutardji, tapi ia lantang---seperti Rendra---menyuarakan dan memotret kondisi sosial: /Kalian bikin masjid/Kalian bikin gereja/Kalian senang kami selalu wirid/Kalian anjurkan kami banyak berdoa/Tapi kalian juga paling banyak melahap nikmat dunia/(Pemulung).
Kuatnya warna amanah, pesan, kesaksian, dan petuah pada puisi-puisi Sutardji pasca O, Amuk, Kapak seakan-akan mengisyaratkan tamatlah riwayat kredo puisi Sutardji. Bisa dikatakakan telah terjadi pergeseran estetika ----- dari mantera ke makna ---. Rupa-rupanya mantera tak lagi mampu mewadahi kreativitas Sutardji sehingga seiring bergegasnya waktu, Kredo yang menggemparkan itu menyerah kepada keterbatasannya sendiri. Namun, bukan berarti ia gong kematian bagi kreativitas penyairnya apalagi kematian puisi. Pergeseran estetika puitik dan konsep kepanyairan hanyalah persoalan yang wajar dalam dunia kepenyairan, jangankan konsep dan estetika puisi, menyair pun boleh berhenti. Kematian kredo puisi Sutardji hanyalah persoalan pergeseran kecenderungan konsep dan estetika puitik saja, bukan kematian puisi.********


*) Penulis adalah penyair dan pemerhati sastra.

Tidak ada komentar: