Minggu, 16 Maret 2008

EMPAT PEREMPUAN KITA


EMPAT CITRA PEREMPUAN KITA
DALAM TAFSIR SASTRA
(Potret Emansipasi dalam Sastra)
*) Oleh : Tjahjono Widarmanto

Perempuan kita yang pertama, adalah perempuan dari dusun di pelosok Jawa Tengah, tepatnya di wilayah Gunung Kidul, wilayah yang bertahun-tahun mendapat stigma sebagai salah satu daerah termiskin di Indonesia. Lahir di desa miskin, dia---perempuan kita bernama : Pariyem itu ------- sungguh merasa sangat beruntung dapat ngenger sebagai pembantu rumah tangga seorang ndoro priyayi.
Keberuntungannya dirasakan bertambah-tambah, ketika tuan mudanya ternyata menaruh minat padanya, pada dirinya, perempuan yang nyaris tak pernah mengenyam pendidikan. Maka, tatkala hamil karena tuan mudanya itu, dia tak merasa risau atau galau sedikit pun. Dengan pasrah dia pulang ke dusun dan melahirkan anaknya. Sekalipun dia tak pernah mempersoalkan bagaimana status anak dan perkawinannya dengan tuan mudanya itu.


Yang lebih menakjubkan, dia kembali ke rumah ndoronya, kali ini dengan membawa bayinya tanpa menuntut untuk dinikahi atau menuntut hak sebagai istri yang mungkin bisa membawanya pada perubahan nasib. Dia kembali pada posisinya semula tanpa sedikit pun merasa terbebani atau merasa ternoda. Di benak Pariyem, hidup menjadi gundik tuan mudanya bukan aib, bahkan merupakan rahmat tak ternilai harganya. Mengandung bibit seorang priyayi, baginya akan mengangkat derajatnya dan derajat keluarganya, sekalipun dia tetaplah hanya seorang pembantu yang terus bergulat dengan kerja keras. Bagi seorang Pariyem, tentu saja istilah emansipasi, perjuangan gender, kesetaraan gender, dan kemitraan gender; hanyalah sekedar omong kosong yang tak pernah bisa dipahaminya.
Bagi Pariyem, dunia priyayi begitu mempesona, sehingga saat ia bersentuhan dengan dunia yang baginya sangat kegemerlapan, ia merasa mendapatkan karunia yang tiada taranya. Dia tak meminta diangkat menjadi bagian dari komunitas kepriyayian yang begitu anggun dan halus yang tak terjamah dunia kasar, dalam pengertian kerja keras dan hiruk pikuk dengan persoalan di luar kepriyayian. Pariyem sudah merasa sangat puas dengan sekedar numpang di sisi komunitas priyayi itu dan ia tak merasa perlu mengutuki nasibnya.
Namun kesumarahan Pariyem di atas tak dimiliki perempuan dusun yang lain, yang dengan kesadarannya mencoba mengubah nasibnya melawan berbagai ketidakmungkinan. Nyai Ontosoroh, begitu nama perempuan itu. Memiliki nasib yang nyaris serupa dengan Pariyem, sama-sama dilahirkan di desa yang kecil dan melarat, sama-sama menjadi gundik, bahkan harus dilakoninya pada saat usianya masih sangat belia.
Nasib yang mengantar hidupnya menjadi gundik Mellema, seorang amtenar Belanda, tak menjadikannya pasrah dan sumarah menjalani takdirnya. Berbekal ambisi dan dendam sekaligus sedikit diuntungkan dengan sikap politik etis tuannya, Nyai Ontosoroh berhasil mengubah nasibnya menjadi seorang pengusaha partikulir

yang besar. Tak hanya itu, Nyai Ontosoroh, perempuan dusun yang yang tak pernah bersekolah ini, juga memberontak terhadap sejarahnya sendiri, dan tak pernah jera melawan realitas kolonial yang selalu mengungkungnya.
Nyai Ontosoroh begitu dendam pada nasib yang menyeretnya dalam dunia gundik yang tak berdaya. Dendam pada suratan nasibnya bertemu dengan alam politik melahirkan sikap perlawanan dan keinginan kebebasan yang meluap-luap. Dia berhasil memunculkan dirinya sebagai sosok baru, dari sekedar sosok perempuan dusun menjelma menjadi sosok penentu dalam pengambilan keputusan besar bersangkut paut dengan investasi, produksi, dan distribusi. Dia berhasil memunculkan identitasnya yang baru walaupun harus melakoni bahkan melampaui segenap citra busuk seorang nyai.
Ontosoroh berhasil meretas struktur yang membelenggunya. Perempuan dusun ini bahkan berhasil melampaui dirinya, mengangkat citra keperempuanannya walaupun mungkin ia tak pernah mengenal istilah emansipasi, perlawanan gender, atau sejenisnya.
Perempuan kita yang ketiga adalah perempuan muda, cerdas, sarjana antrropologi, dilahirkan di tengah-tengah keluarga purnawirawan berpangkat Jenderal. Tentu saja cantik dan menarik. Marieneti Dianwidhi, namanya. Seringkali tidak memakai BH dalam berpakaian namun memilih untuk tidak menikah dan bekerja sebagai relawati bagi anak-anak jalanan yang kumuh, miskin, dan jembel.
Walau sangat sadar akan kecantikan dan kemolekan yang diwujudkan secara demonstratif dalam berbusana; tidak pernah mengenakan BH! Marieneti masih sangat menjunjung tinggi moral keperawanan yang menjadi ciri khas moralitas perempuan Timur. Pemikirannya yang cerdas , berorientasi global, berpendidikan ala Barat yang sangat moderen dan sekuler, tentu saja membuatnya mengenal emansipasi, feminisme, kesetaraan gender dan sejenisnya. Namun semua itu tak menggeser pola pemikirannya yang masih sangat menjunjung tinggi keperawanan walau pada akhirnya Marieneti punya orientasi yang mengejutkan yaitu memilih untuk tidak menikah.
Perempuan kita yang keempat adalah seorang penari, yang tentu saja jelita dan belia, yang lahir dan tumbuh dalam pesona abad millenium. Sebagai penari, perempuan kita ini telah memiliki dan memasuki pergaulan internasional. Cok, nama perempuan ini, merupakan perempuan muda yang secara radikal tak henti-hentinya mempertanyakan keperempuanannya. Bahkan pertanyaan-pertanyaannya tentang keperempuanannya menjadi semacam pemberontakan dan perlawanan terhadap takdirnya yang terlahir sebagai perempuan.
Cok menggugat dominasi patriarki dalam kehidupan perempuan, khususnya dalam seksualitas. Bagi Cok, realitas seksualitas yang lebih menguntungkan eksistensi lelaki merupakan representasi nyata dominasi patriarki dalam kehidupan sehari-hari. Dengan tajam bahkan ekstrim, ia mempertanyakan tentang virginitas atau keperawanan seorang perempuan. Bagi Cok, keperawanan justru merupakan belenggu bagi perempuan. Lewat keperawananlah, kaum patriarki justru mempunyai peluang untuk ‘menguasai’ perempuan. Dalam memperbincangkan seks, Cok begitu bebas tanpa beban, bebas-sebebasnya seperti menari di atas bukit sembari bertelanjang tanpa persoalan. Perselingkuhan dan persenggamaan tidak didudukan dalam kerangka moralitas yang hitam putih.
Berbeda dengan Marieneti yang menganggungkan keperawanan sebagai sesuatu yang suci, Cok justru menggugat bahkan mengingkari pentingnya keperawanan bagi perempuan. Baginya, sungguh tidak adil mempersoalkan keperawanan sedang di sisi lain keperjakaan bukan sesuatu yang penting bagi lelaki. Ia juga mempertanyakan bahkan meragukan lembaga perkawinan. Perlawanan Cok sampai pada puncaknya; kalau Marieneti bertekad mempertahankan keperawanannya, Cok justru menjebol sendiri keperawanannya.
Keempat perempuan itu memang hanya muncul dalam teks sastra kita. Mereka hadir dalam batas imajiner. Namun, sebagai citra dan tafsir perempuan Indonesia, keempat-empatnya bisa hadir sebagai sebuah realitas. Paling tidak, citra keempat perempuan tersebut bisa hadir sebagai suatu simbol perempuan Indonesia dalam kehidupan nyata.
Citra Pariyem, Nyai Ontosoroh, Marieneti, dan Cok merupakan gambaran nyata persoalan-persoalan perempuan dan emansipasi. Cita-cita emansipasi, citra perempuan, citra para ibu, telah mengalami perkembangan dan terpengaruh dengan sangat hebat dengan variabel-variabel sosial dan politik. Sosok Pariyem dan Nyai Ontosoroh mungkin masih bisa muncul di benak Kartini, namun sosok Marieneti dan Cok, barangkali mustahil pernah dibayangkan oleh Kartini. Cita-cita emansipasi, citra ibu, ternyata telah berayun dalam suatu wilayah bahkan labirin yang absurd. Wilayah-wilayah yang amat dipengaruhi oleh kancah sosial ekonomi, modernisasi, industrialisasi, kehidupan global, kapitalisme, pluralisme, sekulerisme bahkan ideologi yang saling tumpang tindih bahkan tarik menarik. Dan di titik yang saling silang sengkarut dan tarik menarik itu, Kartini akan menatap dan bertanya,”Bagaimanakah kelak wajahmu, perempuan-perempuan Indonesia? Bagaimanakah sosokmu, wahai para ibu?’” ******
*) Penulis adalah penyair, essais, dan pemerhati budaya yang tinggal di Ngawi

2 komentar:

Rie Rie mengatakan...

oooo...bukune mbahku...

Unknown mengatakan...

mantaaaap cerpennya